“Buku adalah jendela dunia” merupakan ungkapan yang sangat familiar didengar oleh banyak orang bukan? Aku menyetujui pernyataan itu. Melalui buku, tidak hanya dunia luar yang bisa kita lihat, namun kita juga bisa berimajinasi secara bebas tanpa batas.
Semakin berkembangnya dunia digital, buku fisik sudah bukan menjadi pilihan utama karena banyak yang akhirnya beralih ke buku elektronik. Apapun itu medianya, buku selalu menjadi salah satu penghiburanku dan tempat di mana aku bisa melarikan diri dari realita dunia.
Semakin kesini harus kuakui semakin minimnya aku membaca buku, setidaknya jika dibandingkan dengan melihat sosial media. Namun aku tetap mencoba untuk memberikan nutrisi untuk otakku berpikir melalui berita, artikel, jurnal, dan sebisa mungkin menyediakan waktu untuk tenggelam dalam buku-buku apapun itu setiap bulannya.
Aku terbilang bukanlah orang yang sulit untuk membaca buku–kecuali karena keterpaksaan, bukan keinginanku pribadi. Karena itu termasuk sulit buatku memilih buku favorit. Tapi ada satu buku menarik yang kubaca pertama kali saat SMP, “The Little Prince” karya Antoine de Saint-Exupéry.

Antoine membuat cerita ini ketika tinggal di Amerika Serikat sebagai pengungsi saat Perang Dunia II. Meskipun diterbitkan pertama kali di Amerika, naskah asli cerita ini ditulis Antoine dalam bahasa Perancis dan telah diterjemahkan ke dalam 180 bahasa bahkan terjual sebanyak 80 juta lebih salinan.
Sebagai seorang anak SMP pada saat itu, sedikit banyak mungkin aku belum terlalu memahami secara mendalam isi dari buku ini. Namun karena ceritanya menarik, ketika kuliah dan baru-baru ini aku membaca kembali, aku makin merasa buku ini memang banyak berisi pelajaran berharga tentang manusia beserta segala aspek kehidupan yang ada.
Buku ini menyuguhkan nilai-nilai filosofis dan idealis. Fabel klasik ini menceritakan tentang seorang pilot yang pesawatnya jatuh di tengah Gurun Sahara. Di tengah situasinya mencari jalan keluar untuk memperbaiki pesawatnya, ia bertemu dengan Pangeran Kecil.
The Little Prince mengajarkan kita bagaimana sederhana dan indahnya memandang dunia dari kacamata anak kecil. Dan mungkin sebenarnya hidup memang sederhana, namun kita saja yang membuatnya rumit. Sang Pangeran Kecil mengingatkan bagaimana ketika kita tumbuh menjadi dewasa, seringkali kita melupakan hal-hal yang sebenarnya lebih penting, tapi manusia dewasa cenderung lebih fokus dengan figur orang lain.
“Grown-ups love figures. When you tell them you’ve made a new friend they never ask you any questions about essential matters. They never say to you “What does his voice sound like? What games does he love best? Does he collect butterflies?” Instead, they demand “How old is he? How much does he weigh? How much money does his father make?” Only from these figures do they think they have learned anything about him.”
Membaca kisah ini dengan bahasa sederhana, akan kembali membuat kita tersadar bahwa semakin bertambahnya usia, kita akan melupakan esensi dari menikmati kehidupan secara sederhana.
“The most beautiful things in the world cannot be seen or touched, they are felt with the heart.”
